Mengunjungi Museum Tsunami Aceh
Seperti kita ketahui bahwa bencana Tsunami Samudera Hindia tahun 2004 memiliki dampak terparah di Indonesia, khususnya wilayah Aceh, selain Sri Lanka, India & Thailand. Dilansir dari Wikipedia, gelombang tsunami yang diawali gempa bumi ini mencapai 30 meter dan menewaskan 230-280rb jiwa di 14 negara dan menenggelamkan sejumlah permukiman pesisir.
.
Untuk memperingati kejadian ini, didirikan Museum Tsunami Aceh yang dirancang sebagai monumen simbolis sekaligus pusat pendidikan dan tempat perlindungan darurat anda tsunami terjadi lagi. Bangunan ini terletak di Ibukota Provinsi Aceh, yaitu Kota Banda Aceh. Info dari supir taxi dari mobil yang Gwe naiki saat menuju tempat menginap, yaitu hotel Kyriad, saat bencana genangan air di pusat kota mencapai 2-3 meter. Dalam perjalanan kerja singkat kemarin, 18-19 November 2018, Alhamdulillah Gwe sempet mampir ke Museum ini pada Minggu sorenya. Jaraknya tidak seberapa jauh dari penginapan Gwe, yaitu sekitar 3,2 Km menurut Go-Jek.
.
Cukup mudah menemukan ini, karena selain terletak di pinggir jalan raya, bentuk bangunan pun khas. Sekilas seperti lingkaran stadion, dan tidak berkubah. Dinding utamanya berupa anyaman motif heksagonal, kombinasi warna cokelat dan putih. Bangunan cukup luas, dilengkapi halaman dan taman. Di pelataran terlihat jelas tulisan MUSEUM TSUNAMI ACEH bercat warna biru.
.
Saat Gwe tiba, setelah gerbang masuk dengan pagar rendah terdapat pos penjagaan. Di sana tertera tarif parkir motor dan mobil. Bila pengunjung hendak masuk ke dalam bangunan, terdapat loket tiket dengan keterangan buka Setiap Hari jam 09.00-16.00 WIB, namun khusus Hari Jum’at tutup pada jam 12-14.00 WIB. Tidak ada keterangan sama sekali mengenai tarif tiket, dan karena Gwe ke sana lewat jam tutup, tentu saja sudah tidak ada petugas yang berjaga. Dari informasi tanya jawab Google Map terdapat keterangan masuk tempat ini semula gratis tapi sejak beberapa bulan yang lalu mulai bayar.
.
Sebenarnya tidak tepat juga dibilang mengunjungi museum, karena sudah tutup Gwe hanya bisa melihat-lihat pelatarannya saja. Gwe tiba di lokasi sekitar pukul 16:15, sementara museum tutup jam 16. Gwe tak menduga akan terlambat karena informasi yang saya dapat dari Google, museum ini tutupnya jam 17. Tapi ya sudah, untuk mengobati kekecewaan karena tidak bisa masuk ke dalam bangunan, Gwe jalan-jalan saja berkeliling tempat tersebut. Toh juga banyak muda-mudi yang JJS alias jalan-jalan sore di sana, sambil saling foto dan selfie.
.
Bagian luar gedung, ternyat asyik juga buat nongkrong. Ada kolam di bagian tengah. Pengunjung juga bisa duduk-duduk di pinggir kolam. Di sekeliling kolam, ada bola-bola batu bertuliskan nama-nama negara. Gwe menduga itu adalah nama-nama negara yang memberikan bantuan kemanusiaan saat terjadinya bencana tsunami. Di sisi depan bangunan, ada semacam tempat duduk bersap, mirip yang ada di stadion. Saat ke sana, Gwe melihat ada sejumlah muda-mudi yang beristirahat.
.
Di pelataran nampak juga diletakkan sejumlah kendaraan rusak, yang berdasarkan keterangan di dekatnya adalah akibat tsunami. Ada kabin truk, helikopter polisi, dan juga batan dan akar pohon. Terdapat juga truk putih dengan simbol bulan sabit merah dan palang merah, yang Gwe duga adalah digunakan sebagai alat transportasi kesehatan/penolong pasca terjadinya tsunami. Buat pengunjung yang capek dan haus, di dalam areal sini juga terdapat cafe yang menjual kopi khas Aceh dan minuman kemasan. Lalu ada juga resto.
.
Sayang ya, Gwe nggak sempet berkunjung ke dalam bangunan. Kalau menurut Wikipedia sih, bangunan ini dirancang Ridwan Kamil, arsitek yang sekarang jadi Walikota Bandung itu. Bangunan terdiri dari 4 lantai. Dinding dalamnya dihias gambar orang-orang menari saman, lalu ada nama-nama korban tsunami, dan nama warga yang selamat. Lalu terdapat juga pameran simulasi elektronik gempa dan tsunami, serta foto korban dan kosah yang disampaikan korban selamat. Mungkin sesekali ada juga acara di sini, seperti event
pameran. Karena Gwe ngelihat di depan ada keterangan tentang pameran pada Agustus 2018. Selanjutnya di belakang bangunan ini terdapat pemakaman, tapi Gwe ngga yakin ini adalah pemakaman korban tsunami karena tidak banyak terdapat nisan. Mungkin untuk umum.
.
Menjelang pukul 17, Gwe meninggalkan tempat ini karena hendak mengunjungi untuk pertama kalinya dan sholat Maghrib di Masjid Raya Baiturrahman yang terletak tak jauh dari sini. Kurang lebih satu Kilometer. Esoknya pada hari Senin, karena kegiatan kerja cukup padat, dan rombongan pengin langsung ke Bandara, Gwe ga sempet ke Museum lagi. Yah, mungkin lain kali kalau ada kesempatan, dan mudah-mudahan Aceh selalu aman. Aamiin.
Comments
Post a Comment