Sistem Pilkada Masa Depan
Gwe inget-inget
pertama kali nyoblos Pemilu sekitar sebelum tahun 2000an, sistem coblosannya
11-12 sama yang sekarang: ada petugas yang datang mendata ke rumah, ngasih
kartu pemilih, minta pemilih datang ke TPS, sampai di TPS dikasi kartu suara,
nyoblos di bilik suara, masukkin kartu suara ke kotak suara, celupin jari ke
tinta. Setelah warga pada nyoblos, jumlah suara dihitung, hasilnya direkap
sampai ke pusat. Hampir nggak ada bedanya sama sekali.
Padahal zaman
sudah berubah. Internet sudah hadir dalam kehidupan sampai ke pelosok daerah.
Hampir semua orang pakai hape alias smart phone. Namun sistem pemilu jadul
masih diberlakukan, akibatnya anggaran penyelenggaraan hajat mencapai 15,95
Trilyun rupiah. Emang nggak bisa dieefektifkan, lebih ekonomis dan akurat?
Kalau kata Gwe
sih mestinya bisa. Pertama soal pendataan warga yang memiliki Hak Pilih. Kata
kuncinya adalah Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan KTP-Elektronik. Ingat kan
beberapa tahun lalu pemerintah sudah mendata warga negara untuk pembuatan KTP
Elektronik. Di dalamnya termaktub setiap warga memiliki NIK yang unik, yang
berbeda satu sama lain. Nah dari situ bisa dinyatakan bahwa mengenai pendataan
warga yang memiliki kriteria hak pilih sudah bisa diketahui dari database NIK. Bagaimana
dengan keakuratan data? Data tentu akurat karena satu orang memiliki satu NIK
saja dan memberikan SATU suaranya. Tidak perlu ada pendataan ulang lagi. Pola
ini akan mengurangi belanja cetak kartu data, dan belanja pengadaan serta
pemberian honor petugas pendata.
Lalu bagaimana
untuk memverifikasi bahwa dia adalah pemilih yang sah? Bisa melalui sistem
login ke aplikasi dengan kombinasi NIK pribadinya-nya, Nomor KK, dan bisa juga
disebutkan nama akhirnya, nama ibu kandungnya. Banyak cara untuk memastikan
kebenaran data pemilih. Ini adalah langkah kedua, yaitu aplikasi voting. Voting
dengan aplikasi yang bisa diakses melalui dekstop PC, laptop, atau bahkan
smartphone akan mengurangi/menghilangkan sejumlah hal seperti: belanja kartu
suara, belanja bilik dan kotak suara, belanja sewa tempat, belanja tinta celup,
dan yang mungkin akan dirasa memiliki sisi kontroversi, yaitu menghilangkan
pendapatan orang adalah: belanja honor petugas.
Sistem aplikasi
juga mempermudah dan mempercepat pengiriman data. Data bisa dihitung secara
real time, saat itu juga dengan didukung kalkulasi alogoritma perhitungan aplikasi
yang akurat dan dilindungi serangan cracker. Tidak perlu dihitung manual, yang
menghabiskan waktu dan energi petugas, dan meminimalisir kekeliruan hitung, penjumlahan,
faktor human error.
Pertanyaan yang
selanjutnya paling bikin orang pesimis dengan sistem digital adalah bagaiamana
dengan manipulasi data? Tentunya orang yang betul-betul paham IT akan berusaha
menjaga data dari serangan cracker atau celah manipulasi data. Sistem bisa
diujicobakan sebelumnya. Aplikasi yang sama untuk pemilu bisa disebarkan secara
gratis dan diujicobakan dalam rentang waktu tertentu untuk mengatisipasi
terjadinya sistem error, kesalahan database, servor down dan berbagai
kemungkinan masalah teknis lainnya, sehingga saat hari H, proses Pemilu bisa
berjalan sebagaimana mestinya. Kalau mau ngomongi celah manipulasi, di sistem
manual salah satu cara untuk mengurangi celah manipulasi adalah dengan
menghadirkan saksi-saksi dari berbagai elemen masyarakat saat penghitungan
suara. Saksi pun bisa “dihadirkan” secara digital. Dia bisa diberikan akses
khusus untk mengecek, menyaksikan data-data suara.
Lalu bagaiamana
dengan pemilih yang tidak memiliki smart phone atau akses internet? Warga bisa
saja diperkenankan menggunakan komputer yang sudah tersedia di tingkat
Kecamatan atau bahkan Desa. Ingat berapa banyak Dana Desa yang digelontorkan,
yang salah satunya bisa untuk pengadaan fasilitas sarana prasarana perkantoran.
Tidak harus juga selalu pengadaan baru. Cukup dengan komputer/laptop inventaris
kantor yang sudah ada, yang dilengkapi dengan bandwith internet yang cukup.
Selanjutnya
bagaimana dengan pemilih yang sudah renta, lalu pemilih yang salah memilih data
calon pemimpinnya. Sistem voting bisa
saja sekali sentuh atau klik untuk menentukan pilihan. Namun untuk menjaga keakuratan
data, pemilih bisa diberikat 3 tahapan pertanyaan/ untuk memastikan kebenaran
pilihannya. Pertanyaan pertama yang biasa, yaitu calon nomor mana yang Anda
pilih. Setelah pengguna memilih, akan muncul pertanyaan kedua, apakah benar
calon nomor sekian yang bernama a dan wakil b yang anda pilih? Lalu selanjutnya
muncul pertanyaan terakhir: apakah anda benar akan memutuskan memilih atau
batal memilih dan meminta waktu untuk berpikir dan mempertimbangkan.
Berikutnya, sama seperti sistem manual, bisa disediakan satu orang petugas
pendamping untuk membantu pemilih.
Itulah sedikit
pemikiran yang Gwe sampaikan, mungkin bisa jadi masukkan, dan pertimbangan untuk
sistem pemilih umum di masa depan. Dimana yang diutamakan adalah efektifitas
dan efesiensi anggaran negara, bukan sekedar cari kredit luar negeri dan
mengatasnamakan modal pembangunan.
Comments
Post a Comment